Cup Muah!


Tangan saya gatel  ingin menulis tentang M-net music award. Korean artist and singer, group and solo. Not about the overall event, more about their attitude in greeting someone.

I tell you what, mereka sangat amat njawani. ‘Mereka’ refers to all Korean artist and singer who accept the awards or deliver to the winners indeed. Mengapa saya beranggapan demikian? They do bow or shake hand, not cipika-cipiki. Sweet!

Orang Indonesia yang dalam catatan sama-sama terhitung sebagai Negara Timur sudah mulai luntur unggah-ungguhnya. Lihat saja, dalam suatu ajang penghargaan yang dihelat hampir semua artis yang mendapatkan penghargaan, atau sebutlah yang lebih sering, menjadi tamu dari sebuah talkshow tidak jarang melakukan ritual cipika-cipiki tersebut. Bukannya jabat tangan malah langsung main sosor menyodorkan pipi. Bahkan manusia biasa pun di Indonesia…

Sementara di Korea? Artis saja hanya sebatas menunduk dan berjabat tangan. Sopan dan enak dilihat. Ya mungkin hanya untuk kepentingan recording sih. Entah aslinya budaya di sana seperti apa. Karena setau saya pun di reality show Korea tidak ada pelestarian cipika-cipiki. Tapi ya, di Mnet music award ini ada kiss performance jugak sih tiap tahunnya.

Wait! Jangan buru-buru menganggap saya berpandangan sempit ya.
Maksud saya menulis ini, bukankah dulu masih sangat dikenal yang namanya unggah-ungguh, sungkan, dan tabu. Boleh saja meniru budaya barat yang memang makin hari makin mendunia. Tidak kah ada yang perlu disaring tentang apa yang kita tiru?
Cup Muah! Silakan direnungkan.
Category: 0 comments

Adele_Hiding My Heart

I Heart this song. Karena adele keren banget nyanyinya.

This is how the story went
I met someone by accident
who blew me away
blew me away
And It was in the darkest of my days
When you took my sorrow and you took my pain
And buried them away, you buried them away

I wish I could lay down beside you
When the day is done
And wake up to your face against the morning sun
But like everything I've ever known
you'll disappear one day
So I'll spend my whole life hiding my heart away

Dropped you off at the train station
Put a kiss on top of your head
And watched you wave
And watched you wave
Then I went on home to my skyscrapers
Neon lights and waiting papers
That I call home
I call that home

I wish I could lay down beside you
When the day is done
And wake up to your face against the morning sun
But like everything I've ever known
You'll disappear one day
So I'll spend my whole life hiding my heart away
Away, yeah

Woke up feeling heavy hearted
I'm going back to where I started
The morning rain
The morning rain
And though I wish that you were here
on that same old road that brought me here
It's calling me home
It's calling me home

I wish I could lay down beside you
When the day is done
And wake up to your face against the morning sun
But like everything I've ever known
You'll disappear one day
So I'll spend my whole life hiding my heart away

I can't spend my whole life hiding my heart away
Category: 0 comments

Yogyakarta – Banyuwangi, 19 Oktober 2011


Yogyakarta – Banyuwangi, 19 Oktober 2011

Lanjutan dari cerita sebelumnya, kami menginap di tempat Ahmad. Saya dan mbak Lia di dalam, para lelaki di ruang tamu. Capek teramat sangat karena sedari pagi sampai sore tadi saya sibuk sama nyonyahe, dan kasurnya Ahmad berhasil memanjakan kaki pegal dan punggung renta ini, maka langsunglah saya molor.

Pagi hari sekitar pukul 5, langsung bangun ke ruang tamu, agak kaget pun liat Rifkik masih di ruang tamu. Tapi akhirnya saya berlalu dengan facial foam di tangan, lanjut sholat subuh, unpacking, ngantri mandi, packing lagi. Kemudian ke ruang tamu lagi, minum super-delicous-hot-tea ala rumah Ahmad yang melegakan perut saya.

Keadaan agak kritis menunggu kedatangan Dio dan Jombse. Ahmad terus dan terus mengupdate mereka sampai mana. Diambil keputusan, kami duluan, Ahmad nunggu Dio dan Jombse.

Kami yang duluan pun nggak lebih baik nasipnya daripada mereka yang belum datang. Kami menelpon taksi, menunggu dan kabur dengan taksi lain ketika taksi pesenan datang… (Percayalah, itu sungguh tidak mulia, wahai Izati dan teman-temannya.)

Setelah beberapa menit, sampailah kami di stasiun, ketemu Dio dan Jombse di sana. Kereta kami juga ngaret minta ampun, jam setengah 9 baru berangkat. Ahiya, kucel banget muka si Dio ama Jombang, maklumlah mereka baru sampai dan akan berangkat lagi. Keluar lah si Dio dari kereta sri tanjung yang notabene sudah stand by, (mungkin ke kamar mandi) dan kembali dengan muka cling-cling. Ejieee pasti pake shampoo!

Saya, mbak Lia, Sando, Ahmad, Gugun, Dio, Jombang, Dedi, Iwansyah, akhirnya lengkap berkumpul di stasiun Lempuyangan. Kurang Ayong yang mengira saya lelaki, dan ternyata dari setengah 8 dia udah nunggu di stasiun Purwosari. Sebelum kereta melaju, kami sempat foto-foto dikit di stasiun, dan membeli sarapan dengan hitungan detik bersama sando.
(fotonya entah di siapa saya lupa)

BERANGKAT!!!

Oh, man! Keretanya longgar, kalo Sando bilang itu sesek, saya bilang ini longgar. Udah pernah ngerasain yang benar-benar nggak bisa gerak, napas pun susah.
Thanks PT.KAI yang meniadakan “tanpa tempat duduk”.

Ayong menyusul masuk ke kereta begitu sri tanjung merapat di purwosari, dan dia kaget ternyata saya perempuan dan bukan lelaki seperti yang diharapkannya. (Ckckck… Dosa apa, nama Izza sampe dikira cowok.) Banyuwangiiii! Kami dataaaang!

Zzzzz…

Tidak secepat itu ternyata. Berapa jam coba hitung, jika kami berangkat sekitar pukul setengah 9 pagi dan sampai di Banyuwangi sekitar tengah malam, itu belasan jam. BELASAN JAM!

Di tengah belasan jam itu, ada yang maen kartu lah, ada yang ngobrol lah, si Iwansyah sempet curhat lah, Sando menjelaskan itu gunung apa, itu gunung apa, saya mah tinggal nanya yak. Udah kayak ensiklopedia berjalan si Sando, ditunjuk apa juga ngerti aja dia. Dio agaknya sibuk memenuhi jam tidurnya, Daddy, Ahmad, Sando, dan saya yang sering ngobrol di jalan. Dari ngomongin tempat wisata, danau toba, sampai bahas Paulo Coelho ama buku berjudul kontroversial milik Daddy. Dan sungguh memang, lelaki bukan pendengar yang baik dan wanita tidak pandai membuat topik.

Saya enggak sama sekali pindah dari kursi saya, mobilisasi saya terbatas kalo lagi di jalan gini. Nggak suka gerak gimana macem-macem, sesak pipis pun males mau ke kamar mandi.

Lanjut, setengah 12 siang saya ketiduran dengan tas dipangkuan, tangan dilipat, muka disembunyikan di antara lipatan tangan. Niscaya ini bukan posisi yang enak untuk tidur siang di dalam kereta yang lebih mirip oven kala itu. Jam 12 saya terbangun, Ya Robbana Ya Salam, basah muka sama keringat.
Saya: “Mmmm… Panas.” Setengah sadar ngomongnya sambil kipas-kipas pake tangan.
Sando: “sssshhh, ssshhh, ssshhh…” Sambil kipasin pake kipas seribu peraknya.
(seperti menidurkan bayi, bukan... -__-“)

Kereta sempat berhenti di stasiun Gubeng, rasanya mau lari ke depan stasiun mencari taksi kemudian ke FKG. Rinduuuu sekali Nurieldo, Iva, Orin, Meme, Novi, Feni, Debby, Anita, kak Ali, Adin, kak Indra, Roy, Evi, Mutia, Shendy yang katanya kosan hampa tanpa saya nyanyi-nyanyi, siapa lagi. Aaaawww… Surabaya!

Oiya, Saya, Dedi, dan mbak Lia sempat turun di stasiun gubeng, ke toilet bentar. Saya cuma wudhu, kemudian menunggu mbak Lia. Lhah pas saya liat ke luar, keretanya jalan, PANIK! 
“Mbaaaak! Keretane mlaku… Mbaaakkk…” 
Larilah saya keluar, diikuti mbak Lia, dan Dedi ternyata juga denger. Matek! Tapi ternyata keretanya cuma geser dikit buat benerin lokomotif yang baru aja diganti. Zzzzz…


For Your Information, di kereta ekonomi ini membebaskan para penjual asongan untuk berdagang lalu lalang di dalam kereta. Kalo di sekitar pasuruan banyak yang jual hewan-hewan gitu. Harga Lanting juga makin mahal semakin ke timur. Jadi inget, si Sando nyobain pemotong kuku tiap ada pedagang yang nawarin. Padahal dia sendiri bawa, saya pun bawa, lalu kenapa ini bocah iseng banget nyobain barang dagangan orang. Kesel jugak liatnya, dan terjadi berulang-ulang baik perjalanan pulang ataupun berangkat. Jambak juga ini pipi blushing.

Makin sore, makin malem, maenannya udah nggak jelas. Dari jempol-jempolan yang semula baik-baik saja, hukumannya terus berkembang menjadi truth or truth dan cari kata. Sampai hampir tengah malam kami tiba di Banyuwangi.

Di Banyuwangi kami langsung keluar, mau sholat di musholla stasiun tapi lampunya ajeb-ajeb gitu, lanjut deh kami jalan ke arah dermaga. Baru beberapa langkah dari stasiun, ada bencong kesukaan bocah-bocah. Mereka sangat senang, dan saya terharu. :’) (hoax)

Ngayogjakarta Wayah Wengi


KOPI JOS (NGGAK ADA FOTONYA)

Angkringannya rameeeee. Sampai-sampai saya yang sudah terlanjur lapar tidak kunjung menemui nasi kucing yang saya pesan. Kopi di sini khas, ada arang panas dimasukkan, saya ulangi, dimasukkan(bukan hanya dicelup) di dalam kopi. Selain itu ada menu susu, jahe dan campuran keduanya. Harganya sangat terjangkau sekitar Rp 3.000,-

Bego banget, saya ikut memesan kopi jos setelah susu jahe dinyatakan raib malam itu. Perut hampir kosong ditambah kopi adalah sesuatu yang tidak terperikan bagi penderita maag akut.

Agak lama kami ngobrol ngalor-ngidul, datanglah miss Lia dan dek Gugun. Berikutnya datang yang nggak kalah nggatheli, Rifqi and his bald(ing) head. Asiiiik. Rame!


Ngobrol lagi, more coffee, more ideas, dan tercetuslah BUKIT BINTANG.




BUKIT BINTANG

Kami motoran dari kopi joss ke bukit bintang, saya diboncengin Ahmad, Rifkik sama mbak Lia pertamanya, trus mbak Lia sama dek Gugun, pertukaran ini terjadi di POM bensin karena saya kebelet. Hehe. Pasangan terakhir adalah sejoli Jakarta, Sando sama Daddy.

"Saya tahu jalanan ini", itu yang ada di pikiran saya ketika menuju bukit bintang. Ternyata emang iya, jalan menuju Siung. Here’s the viewFANTASTIC!


Sky dining view versi Jogja(?)

Sebenarnya bukit bintang semacam ini tidak hanya bisa ditemukan di Jogja, di Semarang pun ada. Jika anda di tengah perjalanan malam dan lewat tol Tembalang(tembalang bukan sih ya, lupa saya), coba lihat gemerlapan lampu yang menghidupi kota Semarang. Tapi memang di bukit bintang Jogja udaranya lebih segar, hati-hati saja masuk angin. :)

Tengah malem, pikiran mulai macem-macem, adegan bunuh diri dengan berbagai pose mulai terbayang. Dan dibumbui cerita horror ala mbak Lia. Saya doang yang histeris dengerinnya. (I don’t like anykind of ‘cerita serem’, okay!-___-“)


Lumayan lama setelah foto-foto DIKIT, dan dikejutkan botol pecah, akhirnya kami pulang ke rumah Ahmad di jalan Ahmad Dahlan.(emang iya?!)

Somewhere between rumah Ahmad dan bukit bintang, tak diduga tak dinyana, pasangan sejoli dari Jakarta ilang baunya. Ternyata ban mereka bocor dan lagi di tukang tambal. Di sana ketemu sama Sando si pipi merah doang, mana Daddy dan Rifkik? Ternyata lagi nganter si Daddy yang sesak pipis ke POM bensin yang tadi pas berangkat.