Yogyakarta – Banyuwangi, 19 Oktober 2011


Yogyakarta – Banyuwangi, 19 Oktober 2011

Lanjutan dari cerita sebelumnya, kami menginap di tempat Ahmad. Saya dan mbak Lia di dalam, para lelaki di ruang tamu. Capek teramat sangat karena sedari pagi sampai sore tadi saya sibuk sama nyonyahe, dan kasurnya Ahmad berhasil memanjakan kaki pegal dan punggung renta ini, maka langsunglah saya molor.

Pagi hari sekitar pukul 5, langsung bangun ke ruang tamu, agak kaget pun liat Rifkik masih di ruang tamu. Tapi akhirnya saya berlalu dengan facial foam di tangan, lanjut sholat subuh, unpacking, ngantri mandi, packing lagi. Kemudian ke ruang tamu lagi, minum super-delicous-hot-tea ala rumah Ahmad yang melegakan perut saya.

Keadaan agak kritis menunggu kedatangan Dio dan Jombse. Ahmad terus dan terus mengupdate mereka sampai mana. Diambil keputusan, kami duluan, Ahmad nunggu Dio dan Jombse.

Kami yang duluan pun nggak lebih baik nasipnya daripada mereka yang belum datang. Kami menelpon taksi, menunggu dan kabur dengan taksi lain ketika taksi pesenan datang… (Percayalah, itu sungguh tidak mulia, wahai Izati dan teman-temannya.)

Setelah beberapa menit, sampailah kami di stasiun, ketemu Dio dan Jombse di sana. Kereta kami juga ngaret minta ampun, jam setengah 9 baru berangkat. Ahiya, kucel banget muka si Dio ama Jombang, maklumlah mereka baru sampai dan akan berangkat lagi. Keluar lah si Dio dari kereta sri tanjung yang notabene sudah stand by, (mungkin ke kamar mandi) dan kembali dengan muka cling-cling. Ejieee pasti pake shampoo!

Saya, mbak Lia, Sando, Ahmad, Gugun, Dio, Jombang, Dedi, Iwansyah, akhirnya lengkap berkumpul di stasiun Lempuyangan. Kurang Ayong yang mengira saya lelaki, dan ternyata dari setengah 8 dia udah nunggu di stasiun Purwosari. Sebelum kereta melaju, kami sempat foto-foto dikit di stasiun, dan membeli sarapan dengan hitungan detik bersama sando.
(fotonya entah di siapa saya lupa)

BERANGKAT!!!

Oh, man! Keretanya longgar, kalo Sando bilang itu sesek, saya bilang ini longgar. Udah pernah ngerasain yang benar-benar nggak bisa gerak, napas pun susah.
Thanks PT.KAI yang meniadakan “tanpa tempat duduk”.

Ayong menyusul masuk ke kereta begitu sri tanjung merapat di purwosari, dan dia kaget ternyata saya perempuan dan bukan lelaki seperti yang diharapkannya. (Ckckck… Dosa apa, nama Izza sampe dikira cowok.) Banyuwangiiii! Kami dataaaang!

Zzzzz…

Tidak secepat itu ternyata. Berapa jam coba hitung, jika kami berangkat sekitar pukul setengah 9 pagi dan sampai di Banyuwangi sekitar tengah malam, itu belasan jam. BELASAN JAM!

Di tengah belasan jam itu, ada yang maen kartu lah, ada yang ngobrol lah, si Iwansyah sempet curhat lah, Sando menjelaskan itu gunung apa, itu gunung apa, saya mah tinggal nanya yak. Udah kayak ensiklopedia berjalan si Sando, ditunjuk apa juga ngerti aja dia. Dio agaknya sibuk memenuhi jam tidurnya, Daddy, Ahmad, Sando, dan saya yang sering ngobrol di jalan. Dari ngomongin tempat wisata, danau toba, sampai bahas Paulo Coelho ama buku berjudul kontroversial milik Daddy. Dan sungguh memang, lelaki bukan pendengar yang baik dan wanita tidak pandai membuat topik.

Saya enggak sama sekali pindah dari kursi saya, mobilisasi saya terbatas kalo lagi di jalan gini. Nggak suka gerak gimana macem-macem, sesak pipis pun males mau ke kamar mandi.

Lanjut, setengah 12 siang saya ketiduran dengan tas dipangkuan, tangan dilipat, muka disembunyikan di antara lipatan tangan. Niscaya ini bukan posisi yang enak untuk tidur siang di dalam kereta yang lebih mirip oven kala itu. Jam 12 saya terbangun, Ya Robbana Ya Salam, basah muka sama keringat.
Saya: “Mmmm… Panas.” Setengah sadar ngomongnya sambil kipas-kipas pake tangan.
Sando: “sssshhh, ssshhh, ssshhh…” Sambil kipasin pake kipas seribu peraknya.
(seperti menidurkan bayi, bukan... -__-“)

Kereta sempat berhenti di stasiun Gubeng, rasanya mau lari ke depan stasiun mencari taksi kemudian ke FKG. Rinduuuu sekali Nurieldo, Iva, Orin, Meme, Novi, Feni, Debby, Anita, kak Ali, Adin, kak Indra, Roy, Evi, Mutia, Shendy yang katanya kosan hampa tanpa saya nyanyi-nyanyi, siapa lagi. Aaaawww… Surabaya!

Oiya, Saya, Dedi, dan mbak Lia sempat turun di stasiun gubeng, ke toilet bentar. Saya cuma wudhu, kemudian menunggu mbak Lia. Lhah pas saya liat ke luar, keretanya jalan, PANIK! 
“Mbaaaak! Keretane mlaku… Mbaaakkk…” 
Larilah saya keluar, diikuti mbak Lia, dan Dedi ternyata juga denger. Matek! Tapi ternyata keretanya cuma geser dikit buat benerin lokomotif yang baru aja diganti. Zzzzz…


For Your Information, di kereta ekonomi ini membebaskan para penjual asongan untuk berdagang lalu lalang di dalam kereta. Kalo di sekitar pasuruan banyak yang jual hewan-hewan gitu. Harga Lanting juga makin mahal semakin ke timur. Jadi inget, si Sando nyobain pemotong kuku tiap ada pedagang yang nawarin. Padahal dia sendiri bawa, saya pun bawa, lalu kenapa ini bocah iseng banget nyobain barang dagangan orang. Kesel jugak liatnya, dan terjadi berulang-ulang baik perjalanan pulang ataupun berangkat. Jambak juga ini pipi blushing.

Makin sore, makin malem, maenannya udah nggak jelas. Dari jempol-jempolan yang semula baik-baik saja, hukumannya terus berkembang menjadi truth or truth dan cari kata. Sampai hampir tengah malam kami tiba di Banyuwangi.

Di Banyuwangi kami langsung keluar, mau sholat di musholla stasiun tapi lampunya ajeb-ajeb gitu, lanjut deh kami jalan ke arah dermaga. Baru beberapa langkah dari stasiun, ada bencong kesukaan bocah-bocah. Mereka sangat senang, dan saya terharu. :’) (hoax)

0 comments:

Post a Comment