Merbabu, 25-26 Agustus 2007



Pagi ini saya terlibat dalam rapat kecil panitia ekspedisi Elbrus(26/03/2011). Rapat dimulai bang Jabrix dengan menularkan semangat kepada semua yang hadir. Sedikit banyak memotivasi, dan membangkitkan memori.
Salah satu pertanyaan beliau, "Pernah gak waktu naik gunung, ditinggalin ama temen-temen seperjalanannya? Baru nyampe, eh merekanya langsung jalan."
Saya pernah. Pernah banget!

Pendakian pertama, Merbabu via Selo.

25-26 Agustus 2007

Sabtu sibuk selepas sekolah, saya packing untuk pergi ke merbabu. Dengan bersandang manset hitam, kaos nevada hitam berkantung doraemon kesukaan saya, jilbab putih (yang ini bego), celana jeans, sepatu adidas, persiapan ala kadarnya, dan pengetahuan yang sangat minim tentang gunung, saya dan sahabat baik saya(namanya Yuni, saya memanggilnya uni') mengikuti pendakian umum yang diadakan oleh sispala SMA saya(EMAPAL).

Sekitar pukul 16.30 kami berangkat dari SMA 1 KLATEN menuju basecamp. Saya lupa tentang persis waktu kami tiba di Selo, yang jelas langit sudah gelap dan udara dingin mulai menusuk. Tapi saya masih menahan diri untuk mengenakan jaket agar tubuh saya menyesuaikan suhu sekitar. Dari tempat terakhir truk berhenti, kami berjalan cukup jauh ke sebuah masjid. Belum apa-apa saya sudah lapar gak ketulungan. Saat itu saya hanya berbekal roti sobek ukuran besar 3 bungkus, air minum Aqua 1,5 liter dan 600 ml, sleeping bag, jaket 1 helai, dan raincoat. Dari masjid tersebut kami masih berjalan agak jauh ke basecamp. Setibanya kami di basecamp langsung disuguhi nasi bungkus.

Sekitar pukul 21.30 panitia membagi kelompok, kelompok saya kelompok 2 (kalo gak salah). Kemudian beberapa saat setelah itu kami berangkat menapaki Merbabu. Pendakian malam hari memang agak sulit, kita tidak bisa mengetahui secara persis medan yang kita lewati. Jika hujan, ponco atau raincoat sangat berguna tidak hanya untuk berlindung dari hujan tapi dari angin juga. Alhamdulillah perjalanan kami tanpa hujan. Senter adalah alat wajib dalam pendakian malam. Alat ini membantu kita dalam orientasi medan. Saya hanya membawa satu senter, saat di perjalanan itu senter saya dipakai orang lain dan berlanjut sepanjang perjalanan. Dan buat pengetahuan aja, Merbabu via Selo licin berpasir kalo nggak ada hujan.
Mendekati sabana, ada bagian yang benar-benar licin. Sampai-sampai kalo naik harus pake tali. Saya nggak lebay sih, pas itu beneran pake tali kok mas-mas panitianya bantuin peserta.


Entah sekitar pukul berapa, saya terpisah dari kelompok. Sempat berjalan sendirian di kegelapan tanpa senter. Di depan saya kemudian ada mas-mas, mungkin panitia (suaranya gahar woy). Saya memutuskan untuk bergabung dengan kelompok mereka. Menuju sabana, kami sempat berhenti di batu nisan bertuliskan Heri Susanto(kalo saya gak salah sih), kabarnya dia pendaki yang meninggal di Merbabu. Melanjutkan perjalanan, sampailah kami di Sabana pada pukul 02.30. Di sana saya tidak mau makan, dan langsung tidur mengeluarkan sleeping bag saya.

Pukul 05.30 saya terbangun dengan muka belepotan debu pasir dan baru sadar kalo saya tidur tepat di tepi ...(entah jurang atau apa, pokoknya di tepi dan kalo jatuh mati aja deh), satu lagi yang perlu dijelaskan, saya terpisah dari rombongan yang lain dan benar-benar sendirian. Kemudian saya bangun dan sholat subuh, setelah itu menikmati sunrise tepat di depan tempat 'menginap' saya. Kami temu kangen sekelompok setelah beberapa saat celingukan mencari teman.

Pukul 07.00 panitia mengumumkan, jika ingin muncak silakan. Ikuti jalan ini, kalo mau ninggal barang nggak papa. Saya bilang ke panitia, "Mas, saya males bawa ransel. Nitip ya."
"Yakin gak bawa apa-apa?"
"Enggak deh."
"Entar haus..."
"Enggak, orang saya kebelet pipis malah."
Perkiraan saya salah. Ternyata kami harus naik-turun bukit(kayaknya 3, tapi saya lupa) dan itu sangat membutuhkan air.

Pukul 07.00 saya berangkat bersama beberapa teman sekelompok yang masih mau lanjut. Melewati bukit, saya mulai(lagi) meninggalkan teman sekelompok dan berusaha mengejar kelompok di depan saya. Di tengah perjalanan menuju puncak (karena jalan saya terhitung sangat lambat), saya(sendiri) berada di tengah antara tim yang di belakang(cewek-cewek semua, termasuk uni' dan panitia yang mendampingi) dan tim depan(cowok-cowok peserta dan panitia pendampingnya). Saya berjalan sendirian(lagi). Sempat merasa aman karena mengira akan disusul tim belakang, dan ternyata mereka mundur setelah turun dari bukit pertama. Ingin menyusul tim depan, langkah saya tidak cukup cepat, kalau mundur lebih sayang lagi.

"You go this far, why don't you try to deal with it."

Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, tanpa teman, tanpa air minum dan tanpa sarapan. Beruntung sekali langit sangat cerah, meskipun terik tapi pemandangannya LUAR BIASA. Apalagi sabananya. Senyum saya terkembang setiap melihat sekeliling. Subhanallah. Tidak semua orang bisa sampai sejauh ini. Keuntungan muncak sendirian adalah kalian bisa jalan santai, tapi ngeri kalo dibayangin. Pingsan nggak ada yang nolongin.

Agak lama berjalan, akhirnya saya sampai puncak. Kalau kalian tahu, nggak ada apa-apa di puncak. Cuma ada pemandangan indah yang susah banget dilupakan. SANGAT AMAT INDAH. Perjalanan paling 'nggak banget' sekaligus paling 'indah' yang saya alami. Pendakian pertama tidak akan terlupakan.

:)
Alhamdulillah, puncak merbabu terengkuh. Sempat bilang kapok dan gak mau lagi naik gunung gara-gara dengkul udah mau copot rasanya. Oya, muka saya nggak pake ngelupas kulitnya pas pendakian pertama ini. Siap sedia lotion, ama lipbalm deh. haha.



Itu foto saya di puncak Merbabu, dengan latar belakang gunung Sindoro dan Sumbing.

Indonesia indah, pa!
Category: 0 comments

0 comments:

Post a Comment